Wednesday, September 2, 2009

TelagaSenja (113)

More than words
Saying I love you/Is not the words I want to hear from you/It's not that I want you not to say/But if you only knew/How easy /it would be to show me how you feel/ More than words/Is all you have to do to /make it real/Then you wouldn't have to say /That you love me, yeah/Cause I'd already know.

What would you do (what would you do)/If my heart was torn in two /More than words to show you feel/ That your love for me is real/What would you say/If I took those words away/Then you couldn't make things new/Just by saying I Love You (Just saying I love you, saying I love you)/More than words/(Just saying I love you, saying I love you)

Now that I've tried to (now that I've tried to)/Talk to you and make you understand/All you have to do is/Close your eyes and just reach out your hand/And touch me/Hold me close don't ever let me go/More than words/Is all you ever needed me /to show/Then you wouldn't have to say/That you love me, yeah/Cause I already know/(Just saying I love you, saying I love you)/More than words/[Repeat till fade]
=================
Dalam adat batak, tidak boleh sembarangan menyampaikan keinginan pihak lelaki terhadap pihak perempuan. Ada tahap-tahapannya. Bicara langsung dengan Magda nggak ada masalah, itu urusan pribadi.” jelasku.
“ Ah...adat batak. Terlalu bertele-tele,” balasnya ngakak.
“ Bertele-tele tapi asyik walau kadangkala membosankan dan menyebalkan.”
=================
SUSAN menyambut dengan semangat keingiinanku untuk menikahi Magda, bahkan mau membantu dengan tulus. Sambutan yang begitu hangat semakin membakar hati dengan harapan Magda akan mengubah sikapnya untuk tidak menikah sebagaimana pernah dia nyatakan ketika aku”menceraikan” beberapa bulan lalu. Namun, semangat ku tiba-tiba hilang ketika teringat akan janji yang belum kupenuhi yaitu, memberinya seuntai kalung pengganti kalung yang aku buang , dulu, ketika dia menolak menerimanya. Dalam semangat yang hampir pudar itu, Susan menegurku; ” Kenapa wajahmu tiba-tiba murung, tak bergairah. Agaknya abang nggak serius mau menikahi Magda. Masih ada sesuatu yang mengganjal perasaanmu?” tanyanya serius.

“ Nggak ada. Aku tiba-tiba kangen sama dia,” ujarku berbohong.
“ Kangen? Baru kemarin bicara ! Tapi sepertinya ada sesuatu yang dipikirkan, kalau boleh aku tahu sebelum masuk ke dalam pesawat,” pintanya.
Mulutku terasa berat untuk mengatakannya, apalagi baru saja dia menyelipkan sejumlah uang kekantongku. Susan terus mendesakku, kenapa aku tiba-tiba bicara tak bergairah. “ Ayo bang, katakan. Apa yang dapat kubantu,?” desaknya.

“ Susan, tunda dulu menyampaikan keinginan untuk menikahi Magda. Aku merasa malu, hingga saat ini aku belum memenuhi janjiku, sudah hampir empat bulan. Nantilah setelah aku penuhi, aku akan telepon Susan dan bolehlah menyampaikan keseriusanku untuk menikahinya.
“ Abang janji apa kepada Magda.?” tanya Susan.
“ Nantilah aku katakan lewat telepon. Ceritanya panjang, pergilah pesawatmu mau berangkat.”
“ Masih ada waktu kok bang. Ceritakan singkat saja, kayak cerpenmu di koran mingguan itu,” ujarnya ketawa.
“ Oh..iya...nantilah, aku akan tuliskan dalam bentuk cerpen. kalau sudah dimuat berikan ke Magda, jangan beritahu aku penulisnya.”

“ Lho, kok abang malah ngelantur. Apa janji abang pada Magda.!?” tanyanya ulang. Karena Susan terus mendesakku, akhirnya aku menceritakan awal kejadian hingga akhirnya aku membuang kalung itu ke toilet. “ Ada salah pengertian diantara kami. Tetapi sebelum kembali ke Jakarta, aku dan Magda sudah saling memaafkan. Kemudian aku berjanji akan memberinya seuntai kalung pengganti yang telah aku buang itu.”
Susan ketawa mendengar tuturanku. “ Memang abang darah tinggian, nggak punya seni bercinta. Masya sih kalung dibuang ke toilet ? Keterlaluan! Untuk bukan aku bang, huh...dasar. Ya sudah, aku akan berikan nanti,” ujarnya sambil membuka kalung yang dikenakannya. “ Aku buka dulu bang, nanti takut kelupaan,” lanjutnya. Aku terhenyak melihat spontanitasnya walau didahului dengan enyekan.

“ Susan, itu makanya tadi aku merasa berat mengutarakannya. Aku tahu Susan mau membantuku, tetapi bukan dengan cara seperti itu. Aku mau memberi sesuatu buat dia adalah milikku sendiri.”
“ Nih bang, ini milikkmu. Aku tulus memberi kepadamu bukan kepada Magda,” ujarnya sambil menyelipkan ke tanganku, sementara pengumuman kedua lewat pengeras suara memanggil penumpang masuk kedalam pesawat.
“ Heh....bang, malu dilihatin orang,” ujarnya seraya mengusap kelopak mataku yang hampir mengeluarkan cairan. Tangaku terasa berat menerima kalung yang baru saja dibukanya. “ Zung, mau kasih sendiri atau aku yang kasih.?” tanyanya. Aku memeluknya, bibirku bergetar menahan haru dan berucap di telinganya, “ Terimakasih Susan, I love you so much.” Aku menyerahkan kembali kalung itu ketangannya.

Susan membalas pelukanku : “ I love you too honey. Heh...bang, laki-laki nggak boleh menangis, pulanglah. Besok aku serahkan dikantornya,” ujarnya, lantas meninggalkanku di depan pintu ruang tunggu. Beberapa langkah setelah masuk, dia membalik kearahku seraya melambaikan tangganya. Aku sempat melihat kelopak matanya juga memerah.

Dalam perjalanan pulang dari airport, aku sukar membayangkan bagaimana Magda mau menerima “pinangan” sahabat, mantan pacarku Susan. Relakah dia mengubah sikapnya tidak mau menikah untuk selamanya.?
Sebelum Susan menyampaikan pesanku, aku ingin “membuka jalur” dulu melalui pembicaraan santai tetapi serius. Untuk Magda, aku tak sukar “mengayun” pembicaraan sebelum berujung pada inti percakapan. Dengan perasaan berbunga-bunga, segera menghubungi Magda setelah tiba di hotel.
“ Magdalena di kamar mas,” ujar Rina diujung telepon. Kepada Rina, aku menanyakan kebenaran cerita Laura, menyebutkan, bahwa Magda jatuh sakit karena mendengar aku tidur sekamar dengan Susan. “ Iyalah mas. Mbak Magda bukan malaikat. Perempuan mana sih yang setuju pacarnya tidur bareng dengan perempuan lain, sudah bersuami lagi,” ucapnya nyinyir.

Meski sudah kujelaskan, Rina tetap tidak percaya kalau aku tak jadi tidur sekamar dengan Susan. Hampir saja aku membentak Rina, karena tak yakin atas penjelasanku. Namun, amarahku surut setelah menyadari Rina sedang hamil. Beberapa minggu belakangan, memang, Rina bertugas bak operator merangkap asisten Magda. Tidak seperti biasanya, Magda selalu mengangkat telepon. Rina akhirnya bersedia memanggil Magda setelah ku bujuk ulang disertai suaraku agak meninggi. Magda menyapaku dengan suara lembut: “ Ada apa Zung. Abang sedang di hotel iya,?” tanyanya.

” Ya. Kok Magda tahu,?” tanyaku tanpa ada perasaan bersalah. Pembicaraan tak berlanjut, Magda tiba-tiba menutup telepon. Aku coba lagi menghubunginya tetapi tak seorangpun mau mengangkatnya. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment