Thursday, September 10, 2009

Telaga Senja (119)



http://www.youtube.com/watch?v=gz2cUX0CNA8


Foreigner-I Want to Know What Love Is
I gotta take a little time /A little time to think things over /I better read between the lines /In case I need it when Im older /Now this mountain I must climb /Feels like a world upon my shoulders /I through the clouds I see love shine /It keeps me warm as life grows colder

In my life theres been heartache and pain /I dont know if I can face it again /Cant stop now, Ive traveled so far /To change this lonely life / I wanna know what love is /I want you to show me /I wanna feel what love is /I know you can show me

Im gonna take a little time /A little time to look around me /Ive got nowhere left to hide /It looks like love has finally found me / In my life theres been heartache and pain /I dont know if I can face it again /I cant stop now, Ive traveled so far /To change this lonely life

I wanna know what love is /I want you to show me /I wanna feel what love is /I know you can s*) how me /I wanna know what love is /I want you to show me /And I wanna feel, I want to feel what love is /And I know, I know you can show me

Lets talk about love /I wanna know what love is, the love that you feel inside /I want you to show me, and Im feeling so much love /I wanna feel what love is, no, you just cannot hide /I know you can show me, yeah
*) Show me love is real, yeah I wanna know what love is...

===================
Sebelum mengakhiri pembicaraan dengan Laura, aku mencoba memancing apakah masih ada kadar cinta yang tersisa. “ Laura, nanti malam, Tia mengajakku ke club malam. Boleh aku ikut.?”
“ Gimana sih. Emang maunya mas, dasar.?”
“ Laura ! Jawabannya hanya “ ya” atau “tidak”
“ Tidak!” tegasnya.
“ Iya, wis. Aku pergi sendiri.!”
=====================

KETIKA sudut hati berbicara disana tak ada yang tersembunyi. Kasih, rindu dan amarah akan mengalir dari sumber yang sama, kalbu. Aku masih merasakan sentuhan kasih Laura. Agaknya aku dan dia masih dalam lingkaran rindu, terpana dalam pesona jiwa. Gema kasih semakin aku rasakan justru setelah kami bermaklum diri oleh sekat pembatas. Hati adalah hati, bagai bentaran luas menyemai kasih tak terbatas. Aku juga tak dapat membohongi diri, disana, bukan saja di kedalam jiwanya, tapi juga disudut kalbu masih terajut lembaran kasih seiring ketidak pedulian Magdalena atasku .

Jiawaku mengembara jauh hingga ke ujung penantian yang tak kunjung tiba. Entahlah Magda merasakannya. Laura? Iya, aku merasakan. Dia semakin memperhatikanku melebihi sebelumnya. Dia berkata” tidak” ketika aku katakan Tia mengajakku ke night club. Padahal sesungguhnya Tia tidak atau belum mengajakku. Belakangan, Laura juga semakin akrab dengan adikku Lam Hot dan sebaliknya.

***

Siang setelah makan, aku dan Tia memulai pembenahan pembukuan. Perusahaan yang telah ditangani oleh Cecep selama dua tahun belum pernah mendapat profit. Bahkan kantor pusat tak jarang memberi suntikan dana operasional. Ketika aku mulai masuk pada pembuktian berupa pembelian barang-barang serta bukti pembayaran para kontraktor, Tia dan Cecep mulai “menggangu” konsentrasiku melalui ucapan-ucapan mengarah pada pemuasan nikmat sesaat.

Mulutku melayani mereka tetapi otakku tetap fokus pada invoice barang-barang, menurut dugaan sementara telah terjadi mark-up. Secara tak sengaja aku menemukan bukti pembayaran sebanyak dua kali pada perusahaan yang sama dengan kwantitas dan kwalitas yang sama, pada tanggal yang berbeda. Tetapi aku tidak menemukan bukti berupa faktur barang pembelian. Hmmm....kelas pencoleng jemuran, tak punya seni, kataku dalam hati setelah menemukan kejanggalan dalam pembukuannya.

Dengan Tia? Dia melanjutkan aksi, sengaja atau tidak , "frekwensi" sentuhan ujung kaki dan lengan sudah tak normal. Tak jarang pula wajahnya hampir menyentuh wajahku kala menunjukkan angka-angka yang kucurigai bermasalah. Matanya redup kala aku menunjukkan kejanggalan pembukuannya, entah kapan pula satu kancing baju depan terbuka.” Yachhh...mas, kenapa aku bisa lupa.?” desahnya.

Khawatir masuk dalam perangkap Tia dan Cecep, aku akhiri pemeriksaan pertama.
“ Tolong aku dibantu membawa semua berkas-berkas ini ke hotel, sekarang juga,” tegasku. Tia dan Cecep tak dapat menutupi kegalauannya. Dengan perasaan terpaksa, mereka memenuhi permintaanku. Sebelum tiba di hotel, Cecep dan Tia membawaku ke sebuah coffe shop tidak jauh dari hotel. Selama disana aku tak menunjukkan perasaan kesal. “ Selalu bersikap profesional, reward dan punish bukan urusan kalian,” demikan kata dosenku, Susan, ketika menjelang akhir perkuliahan, dulu.

Di coffe shop, guyonan berbau porno. Apa yang mereka kemukakan bagiku sudah cerita lama. Di Medan jenis guyonan seperti itu kategori lelucon sampah. Namun, atas nama profesional kimbenya itu, kupaksakan juga tergelak. Waktu kami cukup lumayan tersita di coffe shop. Aku dan Tia menuju hotel, Cecep pulang. “ Mas mau mengerjakan malam ini juga?” tanya Tia ketika tiba di kamar hotel.

“ Ya. Aku cuma diberi tugas hanya dua hari. Kalau boleh malam ini semuanya selesai. Besok rencana mau jalan mutar kota Bandung.?” jawabku. Tia mengambil ancang-ancang duduk di kursi dekat lampu meja. Suasana semakin “mencekam” ketika Tia membuka blazernya. ”Gerah mas!“katanya, pada hal ruangan ada pendingin dan kami menghidupkannya.
“ Aku malah kedinginan” ujarku sembari mempelototi angka-angka aneh dalam buku.
“ Nih mas, pakai” ujarnya sambil meletakkan blazernya di bahuku. Kemudian Tia duduk diatas karpet sementara dia hanya memakai rok.

“ Ah...pahamu Tia..tak seelok paha pacarku Magda dan Laura. Juga dengan Susan meski sudah ibu-ibu, bisikku dalam hati. Tak peduli aku dengan pamer pahanya. Paha ayam lebih putih Tia, kataku lagi dalam hati. Masya sih nilai ratusan juta dihargai sepasang paha? Nggaklah, biar juga dengan segala tubuhnya.

“Deburan ombak” terasa menggulung dalam jantungku. Sementara Tia semakin gelisah ketika aku menemukan lagi invoice ganda dengan angka puluhan juta. “ Sebentar mas! Aku mau mandi dulu,” ujarnya sambil bangkit dari duduknya. Jujur, susasana ruangan hampir merenggut “pertahananan”ku sore itu. Untuk menghilangkan stress aku menelepon Laura ke kantor. “ Dia sudah keluar sejak siang. Kami nggak tahu kemana. Pak Adrian mungkin tahu, mau disambungkan ke pak Adrian?” tanya Neneng. Aku menolak disambungkan kepada Adrian.

Aku mendengar suara Tia memanggil dari kamar mandi. Persetan dengan perempuan ini. Diam-diam aku meninggalkan kamar hotel, kabur ke dining room. Aku mintakan secangkir kopi pahit untuk menenangkan jantung, yang sedang berpacu kencang . Kopi tanpa gula itu sedikit membantu. Aku berusaha menghubungi Laura ke rumah. “ Laura baru saja keluar,” jawab ibu kostnya.

Menunggu jantung ku kembali normal , aku mengajak ngobrol seorang petugas dining room. Lelaki paruh baya ini cukup asyik diajak bicara. Dia menuturkan awal dia kerja di hotel itu sejak belasan tahun lalu. Punya cucu satu. Mengaku nikah muda, karena “kecelakaan”. Menjelang akhir pembicaraan, dia menawarkan sejumlah perempuan dengan aneka usia dan tarif permalam. “ Kalau mas butuh, sewaktu-waktu dapat kita pesan,” tawarnya. Ah...rupanya juragan “ jengkol “ juga pak tua itu. “ Harus pintar-pintar mas. Cukup itu relatif,” jawabnya ketika ditanya kenapa harus double job, tokh gajnya sudah cukup lumayan. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment