Saturday, April 11, 2009

Telaga Senja (7)

(====================
Aku segera membayarkan ke tiga gelang karena aku yakin keasliannya. Setelah dia berlalu, aku teringat pesan Ria, “jangan percaya dengan siapapun di sekitar casino.”(Bersambung)
====================
SEGERA aku ketoko mas yang berada diantara casino dan hotel. “ Luarnya asli, tetapi mungkin ini hanya sepuhan. Lebih baik dipotong dulu gelangnya baru tahu asli atau abal-abal,” ujarnya.
Bedebah!. Setelah gelang dipotong di dalamnya hanya berisi kawat hitam. Uang hantu dimakan jin lagi. Ini pertanda sial, aku akan segera mengakhiri petualangan tak sengaja ini. Pengganti deposito, aku membelanjakan uang kemenanganku dengan membeli kalung dan cincin bermata blue safir. Aku juga memilih seuntai kalung bermata berlian,mungil. Ingin aku menghadiahkan kepada Magdalena kelak, bila aku kembali ke Medan.

Meski aku telah membelanjakan uang untuk sejumlah perhiasan asli berikut dengan gelang palsu, masih ada sisa untuk dimainkan meski dengan taruhan kecil. Kali terakhir, aku mencoba keberuntungan dengan bermain bacarat. Uang sisa yang aku siapkan untuk modal main semakin menipis, aku segera tinggalkan meja. Terakhir aku mencoba keberuntungan lewat permainan rolet dengan menaruh seluruh sisa chips yang ada ditanganku pada nomor sesuai dengan tanggal kelahiranku, hasilnya jeblok. Sebelumnya, aku memasang tanggal lahir Magda dan Susan, keduanya lucky.
***
Ketika keluar ruangan, aku berpapasan dengan adikku dan Rina. Wajah keduanya tampak marah. “ Mas, kalau tidak pulang beritahu dong. Kemarin kita seharian nyariin kamu,” ujar Rina kesal. Adikku hanya menatapku dengan mata tajam. Meski Rani marah, dia masih menyempatkan mencubit lambungku. “ Mas nakal.” ujarnya sambil mengajakku keluar ruangan casino. Aku menyadari kesalahanku, karena tidak menelephon mereka seharian.

Rina menyetir mobil, dia mengajakku duduk di depan bersamanya. Rina kembali mengoceh dalam mobil, juga adikku. Aku diam, menerima omelan mereka.
“ Mas sudah makan?” tanya Rina diakhir omelannya. Aku diam tak menjawab.
“ Mas, ngambek iya.?”

Aku diam bukan karena omelannya, ingat Magdalena yang selalu mengomeliku kalau aku berbuat salah. Agaknya Rina dan Magda kembaran soal yang satu ini.
“ Abang jawab dong. Ditanyain malah diam.?” ketus adikku.
“ Belum!. Aku belum makan siang.’
“ Mas sukanya makan apa.?”
“ Arsik,” jawabku spontan menghilangkan rasa kaku.
“ Arsik ? Apa itu ,?” tanya Rina keheranan.

“ Tempatnya terlalu jauh bang, di daerah ini nggak ada arsik,” jawab adikku sembari menjelaskan kepada Rina jenis makanan arsik. Rina tertawa cekikan mendengar penjelasan adikku. “ Kalau mas sudah kangen, nggak apa-apa aku antar, pingin tahu juga macam apa jenis makanannya,” ujarnya seraya memutar arah perjalanan kami ke tempat yang disebut adikku.
***
“ Rina! Berhenti....kita ke bank itu dulu.... Kemarin aku deposit uang disana,” teriakku ketika melihat bank yang aku yakin dibank itulah aku dan Ria mendepositkan uang hasil kemenanganku.
” Kapan ? Abang ngingau, bagaimana abang tahu daerah ini,” tanya adikku heran.
Aku segera melompat dari mobil tanpa mengindahkan pertanyaan adikku. Aku segera menemui perempuan pegawai bank , sehari sebelumnya dia mencatatkan depositoku. Namun, perempuan itu menolak menyerahkan uang simpananku.
“ Anda tidak dapat mengambil sendirian, harus bersama Ria. Dalam dokumen, kami tidak menemukan identitas lengkap anda, “ jelas perempuan petugas bank. Aku meninggalkan bank dengan rasa kesal, setelah manager bank menjelaskan prosedur penarikan uang simpanan. Rina dan adikku terus menanyakan selama perjalanan menuju rumah makan.
“ Siapa Ria itu mas, bekas pacar,?” tanya Rina. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment